Tuesday, June 01, 2004

Kesederhanaan Sebuah Keinginan

Apakah kamu termasuk salah seorang yang punya kebiasaan mengawali hari dengan buang air besar? Kalau kebetulan pada suatu pagi kamu tak punya waktu, berapa lama kamu sanggup menahannya? Atau…kamu sanggup mengendalikan keinginanmu itu?

Ketika kita dilahirkan (walaupun pada saat itu, kita belum juga sadar akan tindakan), kita sudah punya keinginan…untuk mengeluarkan suara dalam wujud tangis.

Menurut teori biologi (yang saya pelajari jaman masih disebut SMA), lambung manusia akan kosong kembali dalam waktu 2-4 jam. Berlakukah teori tersebut pada kamu? Sampai berapa lama kamu sanggup menahan keinginan? Atau…kamu bisa mengatur keinginan kamu? Saya cenderung sering menahan rasa lapar, mungkin karena lebih besar keinginan untuk mengurangi berat badan.

Keinginan apa yang paling sederhana bagi kamu?

Keinginan untuk makan dan minum, keinginan untuk mandi, tidur dan buang air…keinginan-keinginan tersebut tampak sederhana.

Kesederhanaan keinginan itu juga mengikuti kita ketika kita menghadapi dilema hidup. Mempunyai sebuah keinginan untuk sekedar berbuat sebaik-baiknya bagi pekerjaan yang kita cintai. Dalam pacaran, pasti kita punya keinginan...sesederhana untuk selalu saling mencintai selamanya. Kesederhanaan sebuah keinginan untuk punya kehidupan yang sukses.

Namun ternyata keinginan-keinginan tersebut tidaklah selalu sesederhana itu. Keinginan untuk makan menjadi tidak sederhana, apabila kita harus mencuri untuk mewujudkannya. Keinginan untuk buang air tak lagi sederhana, apabila kita terjebak macet total di jalan tol. Keinginan untuk mandi itu menjadi tidak sederhana, apabila untuk melakukannya kita harus meninggalkan tempat tidur kita yang nyaman saat kita baru tidur 1 jam.

Sulit sekali nampaknya untuk terus bertahan melakukan pekerjaan yang kita cintai, ketika partner kerja kita menyebalkan. Hubungan pacaran yang indah menjadi membingungkan dan rumit, ketika orang tua kita tidak setuju. De el el...de el el...

Pada akhirnya kita dihadapkan pada pilihan. Pilihan untuk mandi atau meneruskan tidur, pilihan untuk menahan pipis atau menahan malu, dan sejuta pilihan lainnya setiap menit. Setiap pilihan mengandung konsekuensi masing-masing. Memilih menahan lapar daripada berbuat dosa, mengandung konsekuensi kita tidak bisa bertahan hidup. Memilih berbuat dosa, mengandung konsekuensi kita ditangkap dan digebukin.

Jadi ternyata….sebuah keinginan tidaklah sederhana

Be careful of what you’ve wished for…

Diinspirasikan oleh keinginan sederhana gue…pingin bisa berbagi waktu dan kasih sayang lebih sering dan lama dengan pacarku yang long distance.

Sex and The City…Sex in the city?



Bandung, 30 Mei 2004, 14:05

Too many sex and the city lately…

Berawal dari nonton sebuah talkshow yang digawangi oleh cewek afro American yang oke banget, Oprah Winfrey, di sebuah tivi swasta Indonesia. Di episode ini, Oprah mengundang 4 orang cewek lajang, or used to play as single women, dari film serial Sex and The City. Oprah mengorek berbagai perasaan mereka tentang serial dan karakter yang mereka perankan selama sekian tahun, karena ternyata serial ini has come to its end.

Selama ini gue cuma pernah nonton serial itu beberapa kali, soalnya yang muter kan HBO…sementara tivi rumah gue belum akrab dengan teknologi kabel. Gue belum pernah terterpa dengan hype yang ditimbulkan oleh serial ini. Tapi kali ini, thanks to Oprah, gue jadi pengen mengkoleksi the whole series. Padahal tadinya pengen ngoleksi-nya Friends loh, secara gue suka banget sama serial itu dan nampaknya beberapa kali bergelut dengan pembuatan cerita based on that serial.

Jadilah, the next moment gue ke Menteng, gue langsung mencari serial Sex and The City. Gue beli 2 paket, 1st dan 2nd season, dan dengan girangnya langsung nonton malam itu juga. Since then, gue tergila-gila sama Sex and The City!!!

Mulai dari keinginan buat pulang lebih cepat (walaupun persentase keberhasilannya juga kecil), malas keluar rumah, tidur pagi, bawa laptop gue yang berat ini kemana-mana demi bisa nonton di mana aja, bela-belain ke Kota Kembang di Bandung yang penuh sesak cuma buat ngedapetin semua series (3rd to 6th season), kerepotan bawa 18 DVD naik kereta menuju Jakarta, sampai nyuekin pacar gue padahal we can only seeing each other on weekend…all for Sex and The City.

Tiba-tiba gue ngeliat sebuah poster yang ditempel di tembok sebuah rumah, di jalan kecil Bukit Indah, dalam perjalanan dari kost pacar gue menuju jalan Ciumbuleuit. Poster itu mengiklankan sebuah acara diskusi yang digelar oleh sebuah universitas Bandung…berjudul Sex In The City.

Woow…so many Sex and The City(s) for me lately. Fenomena apa sih yang diberikan oleh film serial 30 menit ini?

Buat gue pribadi…

Oprah berhasil membangkitkan keinginan gue terhadap serial ini, bukan cuma nonton tapi juga mengoleksi dan tergila-gila, hanya dengan satu episode dalam talkshow-nya yang berjuta episode. Hal ini mengingatkan gue terhadap teori komunikasi di semester 1, bahwa media memang punya pengaruh yang kadang tidak masuk akal. Juga bikin gue semakin sadar bahwa dengan pekerjaan gue, secara tidak langsung, gue punya “wewenang” untuk membentuk opini masyarakat. So please…do not underestimate the power of your media.

Sepasang suami-istri memberikan testimony mereka, bahwa perkawinan mereka berhasil diselamatkan, thanks to Sex and The City. Membuat gue berpikir, seberapa penting sih sex dalam kehidupan berpasangan? Apakah benar sex itu adalah menu utama, seperti yang selalu dijalankan oleh 4 cewek lajang itu? Mungkin engga sih sweetness and bitterness sebuah hubungan ditentukan oleh how good the sex is?

Ternyata being single is not that bad. Membuat gue lebih tenang dan kalem menghadapi hubungan gue yang nampaknya masih jauh menuju perkawinan. Seakan gue diingatkan kembali, bahwa perkawinan mengikat seumur hidup, dan untuk menikmati setiap detik dari kebebasan yang masih gue miliki.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Carrie sebagai tokoh utama, membuat gue paham bahwa yang mempunyai pertanyaan-pertanyaan itu bukan cuma gue. Bukan masalah sama sekali apabila engga berhasil mendapatkan jawaban pasti.

Carrie Bradshaw is actually my role model. Buktinya gue kembali menulis, setelah percobaan pertama dan gue tinggalin selama hampir 2 bulan.

Last but not least…definitely…their clothes!!!!! AWESOME!!!!!

Thanks to: Carrie, Samantha, Miranda and Charlotte; Darren Star for all themes and great stories; Joy dan Iraz yang rela nemenin gue ke Kota Kembang; my dearest notebook (yang masih belum lunas); nyokap bokap gue yang engga banyak komentar lihat anaknya nonton film gituan; and my lovely boyfriend, yang rela dicuekin atau gak jadi jalan-jalan karena Sex and The City.

Bandung, 30 Mei 2004, 17:30

A Place We Called Phenomenal

Di kota metropolitan seperti Jakarta, tempat-tempat hiburan disediakan untuk tipe orang macam apapun. Mulai dari si kutu buku, coffee drinker, alcoholic, tukang nongkrong sampai party goers.

Tapi sebagai orang yang termasuk ke dalam semua tipe di atas, saya punya pilihan tempat yang menurut saya fenomenal.

Sebuah tempat di bilangan Kota, terletak di sebuah bangunan sejenis ITC dan ruko, mempunyai servis 24 jam, dan dikunjungi oleh amat beragam jenis, tipe dan kelas sosial manusia, untuk satu tujuan…mencari kesenangan.

Tempat itu mampu membuat seseorang tidak menginjakkan kaki di rumah sebulan lamanya. Tempat itu juga yang bisa menarik orang di saat matahari terbit, maupun di saat bulan bersinar. Seorang anak manusia merelakan tubuh dan pikirannya dikendalikan. Laki-laki mampu mendapatkan segala yang dimiliki oleh perempuan. Dompetmu seakan tak mempunyai kunci dan terus saja mengalah pada keinginan dan hasrat. Tempat yang sanggup terus menerus menyuntikkan keceriaan dalam pikiranmu.

Saya masih ingat kali pertama saya menginjakkan kaki di tempat itu. Dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar, akibat pengaruh Malam Tahun Baru, saya masih mampu merasakan suasana yang tidak “biasa” dari tempat itu. Cahaya yang kontras dengan suasana luar gedung, dimana matahari baru saja tersenyum. Manusia-manusia yang bergeletakan di tangga, menundukkan kepala seakan malu memperlihatkan wajahnya.

Pembicaraan dengan beberapa teman mengenai “dunia lain”, membuat tempat itu tersebut namanya. Terucap bahwa di tempat tersebut banyak “setannya”. Kenapa kata itu diberi tanda kutip? Karena menurut saya, kata tersebut mengandung makna ambigu.

Mungkin saja di tempat itu memang bersemayam makhluk-makhluk tak nampak oleh kasat mata. Tapi tempat itu pun bisa membuat seseorang yang, pada dasarnya, punya hati yang baik, tingkat intelejensia yang tinggi, berada, cantik, ganteng dan sederet kelebihan lainnya, menjadi “setan” bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Seorang teman bercerita, bahwa dia pernah melihat seorang perempuan, hanya mengenakan pakaian dalam, menangis di sebuah pojokan. Pengalaman pribadi, merasa diteror karena diikuti oleh laki-laki tak dikenal dengan pandangan “tidak biasa”. Teman-teman yang lain pernah merasa ketakutan setengah mati, gara-gara imitasi seekor naga yang menjadi hiasan. Entah pengaruh apa yang menjalari tempat itu.

Tempat yang tidak ingin kukunjungi lagi…

S….T….A….D….I….U….M

Thanks to Geng Hura-Hura di Malam Tahun Baru yang memperkenalkan gue dengan keganjilan sebuah tempat yang fenomenal, obrolan ngalor ngidul dengan Ronny dan Lola, musik dance yang membuat “hidup makin hidup”.