Wednesday, November 22, 2006

Beratnya Cobaan Bagai Pelangi Hidup


Sebagai manusia, kita punya banyak
kekhilafan dan kelemahan. Seringkali kita tidak menyadari kelemahan kita, karena sibuk menutupinya ataupun meratapinya. Ketika itulah Tuhan datang dan memberikan cobaan, tepat di titik terlemah kita pada saat itu.

Untuk hidup yang harus selalu berhitung, alangkah beratnya cobaan ketika harus berhadapan dengan tagihan dari 3 rumah sakit per bulan. Demi cinta dan kasih sayang kepada belahan jiwa dan buah hati, segala kemampuan dia kerahkan demi menghadapinya. Kagum saya padanya, karena senyum tetap menghiasi wajahnya yang lelah.

Datanglah perempuan penuh perhatian, memberikan hatinya untuk mendengarkan curhat dari
seorang laki-laki yang sedang mengalami krisis patah hati. Alangkah manisnya bila kemudian mereka menulis kisah bersama, alangkah idealnya. Sayangnya kenyataan tidak seindah lukisan.

Tertatih-tatih langkah menghadapi cobaan demi cobaan. Terkadang umpatan kekesalan tanpa sadar keluar dari mulut maupun pikiran kita. Tapi coba bayangkan hidup tanpa cobaan. Kita tidak bisa belajar menghargai hidup dan tidak pernah belajar menjadi dewasa. Tidak pernah ada tangis mampir dalam hidup kita (buat apa diciptakan tissue kalo gitu), sehingga kita pun tidak pernah memberikan senyum kemenangan. Kita juga tidak akan tahu bahwa ternyata keluarga dan teman-teman kita punya rasa sayang dan perhatian yang besar. Kebosanan akan membayang-bayangi hidup kita, karena tidak ada masalah yang bikin kita terbangun di tengah malam. Akankah hidup jadi menyenangkan? Apakah langit basah akan sama indahnya tanpa pelangi? Saya juga tidak tahu.


Monday, November 20, 2006

The First Rule


Rumah sakitnya terhitung kecil, dengan jumlah kamar yang tidak banyak. Saya masuk ke kamar yang ditunjukkan suaminya, mencari di balik tirai yang membatasi 6 bilik kecil yang terdapat di dalam kamar itu. Dia terbaring di atas bantal dengan motif boneka (bukan putih atau hijau polos) dengan selimut oldskool garis-garis, sambil sesekali mengelap keringat akibat AC yang tidak mampu lagi memberikan kesejukan untuk semua orang yang ada di ruangan tersebut. Ditemani sebuah kursi (bukan sofa) dan meja kecil berisi sedikit minuman dan sisa makan malamnya, dia tersenyum menyambut saya. Selama satu jam ke depan, penuh semangat dia menuturkan kisahnya. Bibirnya beberapa kali mengucapkan kata-kata syukur kepada Tuhan atas kelahiran anak kembarnya, kedua anak perempuannya yang pertama, dengan selamat. Di tengah segala kesederhanaan, matanya berbinar penuh kebahagiaan dan rasa syukur tanpa sedikitpun terdengar keluhan atas situasi yang harus dan akan dihadapinya.

Pada hari yang sama, saya mendengar sebuah cerita yang bikin saya senewen. Buat saya, dari baris kedua cerita itu diungkap, moral of the story-nya sudah jelas. Ketika seseorang tidak mampu menghargai dan bersyukur atas segala yang dia punya, maka dia akan terus menyakiti orang-orang di sekitarnya. Sedih dan ngilu rasanya, menatap kepiluan di matanya dan mendengar getar di suaranya, menahan sakit akibat a heartless mind.

Di tengah malam, saya menitikkan air mata ketika bersyukur atas hari ini dan mendoakan mereka yang telah memberikan saya pelajaran hidup yang baru.

Teringat akan sebuah tulisan berjudul "Nikmati Hidup". Setelah bercerita panjang lebar mengenai usaha dia dan teman-temannya dalam menikmati hidup, berusaha mendefinisikan apa arti menikmati hidup, si penulis memberikan beberapa tips untuk menikmati hidup. Begitu membaca tips nomer 1, saya langsung tersenyum dan bersyukur kepada Tuhan karena kembali diingatkan.